Setengah Isi – Setengah Kosong; Jurus Ampuh Fasilitator

Oleh: Fathan Baequni

Manusia bereaksi atas apa yang dipikirkannya, bukan atas apa yang dilihatnya. Sebuah contoh yang sangat umum menjelaskan kepada kita; “terhadap gelas yang berisi air hanya setengah, seseorang dapat memikirkannya sebagai setengah isi atau setengah kosong”.  Bagi saya kisah di bawah ini sangat menjelaskan fenomena setengah isi dan setengah kosong.

Suatu siang selepas dzuhur seorang siswa menangis sambil (meski hanya nada bicaranya saja yang jelas) memarahi temannya. Siapapun orang dewasa yang terbiasa menangani anak akan segera tahu bahwa anak ini sedang kesal.  Dan siapapun orang dewasa yang terbiasa menangani anak yang sedang kesal, mereka akan memilih untuk menunggu hingga Sang Anak tenang dan siap berbicara.

***

Singkat cerita, setelah Sang Anak tidak menangis dan siap berbicara, saya mendekatinya dan melakukan hal-hal yang biasa disarankan saat memfasilitasi anak:

1.  Menanyakan apakah dia memerlukan bantuan atau tidak.  Anak yang bisa mengelola emosinya secara mandiri tidak perlu kita fasilitasi.  Dalam hal itu orang dewasa cukup mengklarifikasi apakah memang betul masalahnya bisa dia atasi atau dia pendam.

2.  Karena dia mengisyaratkan perlu bantuan, langkah berikutnya yang saya pilih adalah membantunya melihat ulang kejadiannya.  Inilah saatnya saya mendengar.  Saya biarkan dia menguraikan kejadiannya, sementara saya hanya sesekali mengangguk atau bilang “hmm...” sebagai isyarat bahwa saya masih menyimak dengan baik. Hehe..

3.  Setelah selesai mendengar, saya mengulang cerita dia dengan intonasi yang datar.  Intonasi datar ini saya pilih untuk memunculkan kesan yang berbeda terhadap kejadian yang dia alami. (Bukankah salah paham terhadap isi sms bisa berawal dari masalah intonasi? Hehe..)

4.  Benar saja, reaksinya berubah.  Sudah lebih rileks dan mulai senyum-senyum.  Sebuah kondisi yang menguntungkan bagi saya yang sedang memfasilitasi.   Saatnya mengemas ulang, itu ide yang muncul di kepala saya.  Dengan pola setengah isi-setengah kosong, saya meminta  dia mereview semua kejadian setengah hari ini bersama si dia yang baru saja “nyebelin” itu.  Pada sesi ini saya menanyakan apakah selama setengah hari ini bermain dengan si dia lebih banyak menyenangkannya atau menyebalkan?  Lalu saya memberi pilihan pada bagian mana dia akan fokus memandang?

5.  Begitu Sang Anak  bilang lebih banyak menyenangkannya, itu pertanda dia sudah keluar dari permasalahannya.  Dia lebih memandang bagian yang terisi air.  Tugas saya dalam sesi ini adalah memperkuat rasa menyenangkannya itu.  Saya minta dia bercerita hal-hal menyenangkan bersamanya sebelum hari ini.  Dan itu dia lakukan.

6.  Saya memandang sesi fasilitasi akan segera berakhir.  Sebelum saya sudahi, saya melakukan sesuatu yang biasa disebut future pacing.  Saya bertanya, “Nanti saat kamu ketemu dia lagi, apa yang kamu lakukan?”.  Dia diam sejenak lalu mengatakan, “Nggak ngapa-ngapain, paling main..” .

Yess….., hilang sudah rasa kesalnya dan saya persilahkan dia keluar dari musholla dan kembali ke sekolah.  Alhamdulillah…

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Hubungi kami
Send via WhatsApp