Memaknai “Begin with The End in Mind” dengan Sudut Pandang Islam

Rabu, 16 Muharram 1435 H, bertepatan dengan 20 Nopember 2013.

Sudah agak lama saya ingin mengungkapkan gagasan yang memadukan idenya Stephen R. Covey tentang Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif dengan ide-ide yang berasal dari nilai-nilai Islam (Al Quran, As Sunah, Sirah Nabi, juga Kisah Sahabat, dll).  Keinginan itu muncul sejak saya dan guru-guru SD Kreativa terlibat dalam program sekolah yang bertajuk “The Leader In Me”; sebuah program yang bertujuan menemukan jiwa kepemimpinan setiap siswa dengan “7 Habits” sebagai komponen utama programnya.

Terus terang, awalnya gagasan S.R. Covey tentang “7 Habits” ini bagi sebagian guru masih terasa asing. Asing karena memang datangnya dari negara asing, asing karena memang sebelumnya belum pernah mempelajarinya, juga asing karena tampak seperti membawa nilai yang kebarat-baratan.  Di awal-awal program, sebagian kami –para guru– bersikap seperti “waspada” terhadap konsep ini.

Kini setelah hampir satu semester program ini berjalan, rasa-rasanya kami –para guru– sudah bisa menyesuaikan diri dan mulai melihat sisi-sisi kesinkronan antara konsep “7 habits” dengan nilai-nilai agama yang kami yakini.  Tulisan ini tidak bermaksud untuk menetapkan sebuah kesimpulan mutlak tentang kesesuaian antara dua gagasan di atas.  Tulisan ini hanya bermaksud memaknai 7 habits khususnya kebiasaan kedua “Memulai dengan Tujuan Akhir” dengan sudut pandang nilai-nilai Islam.  Segaja tulisan ini dikemas dengan bahasa seringan mungkin, agar Anda dan semua orang bisa menikmatinya dengan santai dan nyaman…

Mari kita mulai….

Paradigma

Kebiasaan kedua dari Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif ini dilandasi olah paradigma bahwa sesuatu diciptakan dua kali: di alam pikiran dan di alam nyata.  Berangkat dari paradigma ini, kebiasaan kedua menyarankan bahwa agar hidup kita efektif, segala sesuatu musti jelas dulu tujuannya, setelah itu baru membuat rencana-rencana aksi untuk mendapatkan tujuan itu.

Penjelasan mudah dari paradigma ini adalah tentang seorang tukang pembuat kursi.  Sebelum kursinya benar-benar tercipta, sebetulnya dalam pikiran Si Tukang Kursi terlebih dahulu telah tergambar bentuk kursi yang akan dia buat (ukurannya, warnanya, bahannya, dll). Seorang tukang kursi yang mahir tentu hanya butuh waktu yang relatif sebentar hingga tercipta kursi yang bagus dan kuat.

Lain halnya dengan tukang kursi yang baru belajar atau belum berpengalaman, dia membutuhkan waktu yang relatif lama sejak merencanakan hingga tercipta sebuah kursi yang bagus dan kuat.  Bahkan mungkin selama pengerjaannya, dia akan bertanya dan meminta pendapat ke sana dan ke sini hingga terbentuk kursi yang benar-benar bagus dan kuat.

Mengapa? Karena bagi tukang yang sudah mahir, gambaran tentang kursi yang akan dibuatnya terlihat begitu jelas. Dalam bahasa 7 habits: “the end in mind-nya sangat jelas”. Bentuknya jelas, warnanya jelas, ukurannya jelas, bahkan langkah-langkah pengerjaannya pun jelas.  Lain halnya dengan tukang yang belum berpengalaman.  Gambaran kursi yang akan dibuatnya mungkin ada, hanya saja masih belum jelas tentang ukurannya, warnanya, apalagi tahap pengerjaannya.  Namanya juga belum berpengalaman… 🙂

Lalu; Bagaimana Mendekati Kebiasaan Kedua dengan Nilai Islam?

Salah satu kisah favorit saya untuk memahami kebiasaan kedua dari 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif adalah kisah hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Yastrib (Madinah).

Men-sinkron-kan keduanya, saya memaknai bahwa tiba dengan selamat di Yastrib adalah tujuan akhir (the end in mind) saat beliau Rasulullah hendak berangkat (masih di Makkah).

Apakah Rasulullah kemudian menetapkan strategi? Jika kita membaca buku-buku sirah nabawiyah, niscaya kita akan mendapati bahwa Rasulullah membuat serangkaian perencanaan untuk mendapatkan the end in mind-nya itu; mulai dari memerintahkan Ali r.a. untuk menggantikan posisi tidurnya, menggunakan jalur yang tidak biasa dilalui orang untuk ke Yastrib, hingga menggunakan jasa penunjuk jalan.  Dan dengan ijin Allah, beliau tiba dengan selamat di Yastrib.

Dengan ijin Allah? Ya! Dengan ijin Allah.  Saat sesi pembelajaran, fasilitator kami sangat menekankan pentingnya kalimat terakhir tadi.  “Sebagai orang beriman“, katanya, “kita percaya betul bahwa segalanya atas ijin Allah.  Tidak selamanya the end in mind yang kita tetapkan dan strategi yang kita rancang selalu berhasil.  Maka dari itu selain berusaha kita juga disuruh berdoa..” demikian sambungnya saat itu.

Selanjutnya; Apa ‘The End in Mind’ Seorang Muslim?

Sekarang setelah tahu bahwa sesuatu itu harus jelas tujuannya, karena tujuan yang jelas akan menciptakan jalan yang jelas, bolehlah saya mengajak Anda merenungi beberapa kalimat berikut ini:

Direncanakan atau tidak, kematian pasti akan terjadi.  Sebagaimana Firman Allah, “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati”.   Kita tahu ada dua jenis kematian; husnul khotimah dan su-ul khotimahMari kita bertanya kepada diri kita masing-masing; kematian mana yang menjadi the end in mind saya dan rencana terbaik apa yang akan saya amalkan untuk layak mendapatkannya?

Direncanakan atau tidak, setelah mati manusia akan mengalami serangkaian peristiwa dahsyat.  Mulai dari peristiwa di alam kubur, padang mahsyar, penerimaan kitab catatan amal, mizan, shirat, dan berujung pada surga dan neraka. Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing; bagaimana the end in mind saya tentang nasib saya pada masing-masing fase tersebut.  Dan rencana apa yang akan saya lakukan untuk layak mendapatkannya?

Mari memperjelas tujuan akhir agar jelas juga apa yang harus kita kerjakan.

Wallahu a’lam.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Hubungi kami
Send via WhatsApp