MABIT; Mengasah Ruhani, Menguatkan Kepribadian

Secara bahasa, mabit berarti bermalam. Istilah yang sangat masyhur kita dapati pada salah satu rangkaian ibadah haji yaitu mabit di Mina.  Dalam dunia dakwah dan pendidikan, mabit biasa dijadikan sarana untuk membina ruhiyah, melembutkan hati, membersihkan jiwa, dan membiasakan fisik untuk beribadah (khususnya shalat tahajjud, dzikir, tadabbur dan tafakkur). Sebenarnya bagi siswa SD Kreativa, terutama siswa kelas empat dan lima, mabit bukanlah sesuatu yang baru.  Sejak kelas satu mereka sudah dikenalkan dengan kegiatan yang satu ini.  Namun mabit yang mereka ikuti pada tangal 21 Maret 2014 kemarin sedikit berbeda nuansanya.  Kalau selama ini mabit diselenggarakan di sekolah, kali ini mabit diselenggarakan di luar sekolah, tepatnya di Masjid Roosniah Al Ahmad yang terletak di Perumahan Bogor Nirwana Residence.  Dipilihnya masjid ini bukan tanpa tujuan. Masjid ini dirasa cukup representataif karena selain tenang, bersih, besar, masjid ini sudah terbiasa digunakan sebagai tempat mabit dan I’tikaf oleh masyarakat Bogor dan sekitarnya. Siswa diajak untuk merasakan bagaimana rasanya beribadah di tempat yang bersih dan nyaman. Menanamkan Leadership Melalui Kisah Al Fatih Diantara materi yang berkesan bagi siswa pada mabit di Masjid Roosniah Al Ahmad ini adalah penyajian kisah Muhammad Al Fatih Penakluk Konstantinopel.  Kisah ini sengaja diangkat karena sarat dengan muatan kepemimpinan.  Penetapan Misi Pribadi Sebagaimana kita ketahui bahwa kabar gembira (bisyarah) tentang penaklukan Konstantinopel pernah disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabat, “Kalian pasti akan menaklukkan Konstantinopel.  Sebaik-baik panglima adalah panglimanya (pada saat itu) dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya (pada saat itu)” (HR Ahmad). Kepastian kabar dari Rasulullah inilah yang kemudian dijadikan misi hidup keluarga Sultan Murad (masa kekhalifahan Abbasiyah).  Sejak ayah dari Sultan Murad yang beranama Sultan Beyazid memerintah (1396 M), Sultan Murad I hingga Sultan Murad II (Sultan Muhammad Al Fatih), menaklukkan Konstantinopel telah dijadikan misi hidup mereka.  Hal ini tidak terlepas dari semangat mereka untuk menjadi “sebaik-baik pemimpin”, julukan yang diberikan Rasulullah kepada mereka yang mampu menaklukkan Konstantinopel. Kesungguhan dalam Meraih Cita-Cita Ketelatenan Sultan Murad II – yang terkenal dengan sebutan Muhammad Al Fatih – dalam menjalankan misi hidupnya sungguh patut dicontoh.  Al Fatih tidak sekedar memasang misi hidup yang tinggi dan mulia, tetapi juga merancang perencanaan dan berbagai strategi agar misi hidupnya itu tercapai.  Dia juga tidak meninggalkan faktor ilahiyyah dalam mencapai kemenangannya. Secara pribadi Al Fatih mempelajari berbagai keilmuan, menghafal Al Quran pada usia 12 tahun, termasuk menguasai 8 bahasa pada usia 16 tahun.  Secara lahiriyah, Sultan Al Fatih membentuk pasukan militer sebanyak 250.000 personil dengan 400 buah kapal perang dan 7.000 diantaranya adalah pasukan khusus yang disebut “inkisaria”.  Beliau juga menyiapkan meriam super besar dengan peluru kaliber 0,7 meter dengan panjang 5,2 meter dan berat sekitar 18 ton. Namun begitu, usaha lahiriah saja tidak cukup.  Buktinya pada penyerangan pertama (6 – 20 April 1453), Konstantinopel belum berhasil ditaklukkan.  Tetapi bukan lantaran itu kemudian Al Fatih berhenti.  Al Fatih dan pasukannya mencari cara lain untuk menembus benteng Konstantinopel.  Hingga akhirnya mereka sepakat menyerang Konstantinopel dari arah sebelah utara.  Meskipun untuk itu mereka harus memindahkan kapal perang melalui perbukitan Galagata. Semua usaha itu memakan waktu hingga tanggal 27 Mei 1453, dimana Al Fatih mengumumkan bahwa pada tanggal 29 Mei akan diadakan serangan besar dan sehari sebelumnya, Senin tanggal 28 Mei 1453, semua pasukan diminta untuk berpuasa sunat dan malam harinya melaksanakan sholat tahajud meminta pertolongan kepada Allah.  Dan inilah pembuka kemenangan yang sesungguhnya. Bersinergi dalam Mencapai Tujuan Bersama?  Kisah Al Fatih ini juga mengajarkan nilai-nilai kerja sama dalam mencapai tujuan besar.  Tidak seorang pun dari kita bisa mencapai tujuan kita sendirian saja.  Pasti harus melibatkan orang lain, entah itu orang tua, teman, guru, atau yang lainnya.  Dalam kerangka inilah, setiap orang harus bersedia untuk mendengar danmenghargai pendapat orang lain sekaligus berani mengungkapkan ide dan pemikirannya sendiri. Cukupkah Hanya dengan Mabit Tentu tidak cukup.  Ada sebuah postulat sederhana yang disampaikan Ust. Aris Atmajaya dalam masalah pendidikan, yakni “mendidik tidak bisa mendadak karena yang mendadak itu tidak bisa untuk mendidik”. Seperti halnya Al Fatih, orang tua dan guru harus mempunyai kejelasan tujuan akhir dalam mendidik anak.  Setelah itu barulah orang tua dan guru menetapkan serangkaian strategi dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Dalam konteks bersungguh-sungguh ini konsep fleksibilitas diperlukan.  Fleksibilitas adalah mencari cara alternatif pada saat cara lama tidak bisa diandalkan lagi.  Terakhir, tidak bisa mendidik anak hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri saja, atau sebaliknya mengandalkan orang lain saja.  Harus bersinergi. Mendengarkan Kisah Sejarah Islam

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Hubungi kami
Send via WhatsApp