INSIDE – OUT; Prinsip yang Relevan dalam Mendidik Anak (2)

Memulai membaca artikel ini, kami berharap Anda telah selesai membaca artikel yang sama pada seri sebelumnya. Jika pun belum, ada baiknya Anda membacanya sebentar karena disanalah letaknya cerita; apa itu inside-out, mengapa harus inside-out, hingga bagaimana Islam ternyata begitu inside-out.

Tulisan kedua ini berkeinginan menyajikan bagaimana mempraktikkan ide “menjadi orang tua yang inside – out”. Dalam bahasa lain, tulisan kedua ini adalah versi practicioner dari versi basic yang ada pada tulisan pertama.

Hehehe… apa iya sekeren itu?

Membacanya tidak perlu serius-serius amat, rileks saja… santai saja… Bahkan Anda bisa mengambil keputusan untuk membacanya sambil ngopi.. ngeteh.. atau minuman lain kesukaan Anda.? Silahkan... . . .

www.webweaver.nu

Ide#1 orang tua inside – out: Hanya jika Anda sedang bahagia maka bisa membahagiakan orang lain. Barangkali Anda pernah mendengar tentang himbauan awak pesawat bagi penumpangnya saat memulai penerbangan? Jika terjadi sesuatu yang berupa musibah, maka langkah pertama adalah memastikan bahwa diri Anda selamat terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang lain.

Demikian halnya dalam urusan pengasuhan, hanya mereka yang sedang bahagia saja yang bisa membahagiakan putra-putrinya. Di sini sengaja menggunakan kata ‘sedang’ karena memang fitrahnya manusia, tidak mungkin terus-terusan merasa bahagia sebagaimana halnya tidak mungkin juga terus-menerus menderita.

Sekarang, hendaknya para orang tua mulai memahami bahwa raut muka bahagia sungguh sangat berbeda dengan raut muka orang yang sedang nelangsa. Bukan hanya itu, vibrasi yang terpancar pun berbeda jauh antara keduanya. Dan banyak ahli mengatakan anak-anak sangat peka dengan masalah vibrasi ini.

Jadi, carilah beribu cara untuk bahagia, meski seringkali otak kita lebih pandai mencari berjuta alasan untuk merasa sengsara.

http://3.bp.blogspot.com

Ide#2 orang tua inside – out: Dahulukan suri tauladan, menyuruhlah kemudian Adalah Muriel Summers, Kepala Sekolah A.B. Combs Elementary School (sebuah sekolah mercusuar program The Leader in Me™ di Carolina Utara, Amerika Serikat), sempat terheran-heran menjumpai bawahannya mengemukakan berbagai alasan untuk membersihkan toilet sekolah. Namun tidak demikian adanya ketika dirinya sendiri yang mengambil alat sikat dan bubuk pembersih lalu menyikatnya sendiri toilet itu hingga bersih, maka esok harinya tidak ada lagi yang tidak menjalankan tugasnya membersihkan tolilet sekolah.  Begitulah keteladanan berbicara. Dia berkali-kali lebih kuat berbicara dari sekedar kata-kata.

Mendalami ide kedua ini, tepatlah kiranya jika Ki Hadjar Dewantara menjadikan “ing ngarsa sung tuladha” (di depan memberi contoh) beliau tempatkan pada urutan pertama dari trilogi pendidikan.  Dalam konteks parenting, bukankah orang tua adalah pendidik juga?

https://qalbinur.files.wordpress.com

Ide#3 orang tua inside – out: Kuatkan akar sebelum yang lainnya Tulisan seri pertama sangatlah jelas menggambarkan bahwa menguatkan akar adalah hal utama kala kita mengharap buah yang berkualitas. Pun begitu, mendidik jiwa tentulah harus didahulukan kala kita mengharap manisnya pekerti.

Dalam keseharian, menanamkan kesadaran tentang pentingnya belajar mungkin dirasa sangat sulit oleh orang tua, hingga tak jarang banyak yang lebih memilih men-drill kemampuan anaknya saat menjelang-menjelang ujian saja, melalui lembaga bimbel.

Namun kehidupan mengajarkan, yang sulit itu –seringnya– lebih patent hasilnya.

http://4.bp.blogspot.com

Ide#4 orang tua inside – out: Mengajarkan pemaknaan bukan menyalahkan Sungguh mulia sabda Nabi SAW, “Setiap anak cucu Adam itu pernah bersalah. Dan sebaik-baik yang bersalah itu adalah (mereka) yang beratubat” Jika manusia semulia Rasulullah pun menghargai peluang terjadinya kesalahan pada manusia, siapakah kita yang seringkali melarang putra/putri kita berbuat salah? Bukankah di dalam kesalahan terdapat peluang pembelajaran? Antara kesalahan dan pembelajaran, pada bagian mana kita akan lebih memfokuskan putra/putri kita?

Memberlakukan reward and punishment bukanlah hal terlarang. Bahkan Allah pun menciptakan surga dan neraka untuk membalas amal manusia. Hanya saja Allah selalu membentangkan taubat bagi hamba-hamba-Nya yang ingin memperbaki diri. Selayaknya jugalah, orang tua pandai menyisipkan pembelajaran pada setiap kesalahan yang putra dan putrinya perbuat.

Sungguh mengetuk hati saran seorang teman, agar tak sungkan kita sekedar mengatakan kalimat semisal “Nak, berkurangnya uang jajan seribu rupiah sehari selama seminggu, hanyalah hal yang sangat kecil ketimbang bahaya yang kamu terima akibat lalai mengerjakan sholat shubuh”.

pastiwp.files.wordpress.com

Ide#5 orang tua inside – out: Mengenalkan jati diri bukan menjadi pengendali Di bagian ini, lagi-lagi sulit bagi kami untuk tidak menghiraukan konsep Stephen R. Covey tentang kepemimpinan. Beliau menyayangkan ketika kata pemimpin hanya disematkan untuk menamai sebuah posisi, sebagaimana beliau juga mempertanyakan ketika kata itu disematkan hanya kepada sebagian kecil orang.

Tidak bisakah –tanyanya kemudian— semua orang menjadi pemimpin? Bukankah orang yang jujur antara hati dan lisannya juga layak disebut pemimpin? Bukankah orang yang pandai memberi teladan juga patut disebut pemimpin?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian mengantarkan beliau kepada cetusan baru tentang kepemimpinan yaitu mengkomunikasikan nilai dan potensi seseorang dengan sangat jelas hingga yang bersangkutan bisa menggunakannya dengan baik.

Merenungi cetusan ini, sungguh tepat kiranya jika sejak usia dini anak diajarkan untuk mengetahui keunggulan dan keunikan bakatnya, alih-alih “disetir” orang tua. Sungguh tepat kiranya jika sejak usia dini orang tua menyiapkan diri “berselancar” menemani Sang Anak dalam mencari bintang terangnya.

Tidak mudah memang, menyelami dunia anak dengan deburan-deburan kemauannya yang kerap berubah dan berganti-ganti. Namun cukuplah doa mereka nanti yang menjadi penghibur kelelahan para orang tua hebat. Sebuah doa yang teruntai indah, “Ya Rabb, ampunilah aku, dan ampunilah kedua orang tuaku. Dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil”

Kasih semacam apa gerangan yang ayah bunda berikan pada putra-putrinya dikala mereka masih kecil? Semacam itulah kasih Allah pada mereka – bahkan melebihi itu. Wallahu a’lam.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Hubungi kami
Send via WhatsApp